Diskripsi

Buku Menggapai Asa Mewujudkan Impian adalah goresan pena yang dituliskan oleh anak-anak para pejuang Bidikmisi. Mereka yang seperti kertas kosong dalam sebuah buku tulis, namun ketika dibuka bukunya memiliki banyak kisah untuk ditorehkan. Sebagian mereka memiliki kisah pilu dan ada juga yang bahagia, tetapi kisah itu akan memiliki semangat juang 45 yang mereka kobarkan, berharap akhirnya akan menjadi bahagia untuk menggapai Impian. Mereka yang memiliki hambatan berkuliah, mereka yang punya harapan dan keinginan, mereka juga yang punya motivasi untuk menggapai asa mewujudkan impian. Terkadang terlalu lelah ketika dihadapi begitu banyak ujian, entah dari orang tua yang berjuang mencari uang untuk biaya pendidikan mereka, ada juga dari ketika orang tua tidak bersama lagi dan hanya dirinya saja yang berjuang mencari uang dengan berjualan, lalu ada juga mereka yang tak lagi ingin bermimpi tinggi ketika orang tuanya dinyatakan memiliki riwayat penyakit parah. Mereka ingin menangis, namun ketika memiliki sedikit harapan, mereka kembali bangkit untuk berjuang mendapatkan beasiswa agar impian mereka juga terwujud.
Dalam buku ini, mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi Unsyiah bercerita tentang semangat juang mereka dalam mengejar impiannya di tengah segala keterbatasan dan problemanya. Buku ini dapat menjadi inspirasi dan membuka ruang batin kita dalam melihat dunia pendidikan yang kompleks dari banyak sudut pandang.
Tentang Penulis

Ihan Nurdin

Hayatullah Pasee

Mustafa Sabri
Website: http://fsd.unsyiah.ac.id/mustafasabri/
Email: mustafa_sabriyosa@unsyiah.ac.id

Sulaiman Tripa
Website: http://fsd.unsyiah.ac.id/sulaiman.fh/
Email: sulaiman.fh@unsyiah.ac.id
Order Buku
Ketika Ibu dan Semuanya Pergi – Penulis: Lara Duta
LARA, begitu teman-teman biasa memanggil saya. Nama panjang saya Lara Duta. Sesuai dengan nama, saya pernah jadi duta mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala angkatan 2017. Bagi saya hidup adalah misteri yang tidak pernah terbayangkan oleh siapa pun bagaimana ia bermula dan seperti apa ia akan berakhir. Saya dilahirkan pada 14 Mei 2000, tepatnya di Kota Bandung. Saya anak keempat dari lima bersaudara. Saya memiliki tiga kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Kedua orang tua saya berasal dari Aceh. Mereka merantau ke Pulau Jawa ketika Aceh dalam keadaan tidak kondusif. Pada tahun 2006, kami kembali ke tempat asal kami dan tinggal bersama adik dari bapak saya karena kami tidak memiliki rumah kala itu. Bapak saya mulai bekerja sebagai pedagang di toko teman lamanya.
Enam bulan berlalu, akhirnya bapak memutuskan untuk mengontrak rumah. Kami semua menuntut ilmu di sekolah terdekat dari rumah. Alhamdulillah saat itu bapak pun sudah bekerja di proyek perumahan sebagai manajer sehingga ekonomi kami sedikit membaik. Kami pun berusaha untuk membuat rumah sendiri. Dua tahun berlalu, atas izin Allah rumah impian keluarga kami pun selesai dibangun. Selagi bapak bekerja, mama juga memulai usaha warung di samping rumah untuk membantu ekonomi keluarga. Mama jualan baju kreditan dan beternak ayam di belakang rumah. Selain itu mama suka berkebun. Jadi tidak heran jika sayuran dan bunga menghiasi rumah kami. Tidak lama kemudian bapak sudah bisa membeli mobil pribadi. Setiap minggu keluarga kami liburan untuk melepas penat setelah enam hari sekolah dan bekerja. Keluarga kami sangat harmonis dan serba berkecukupan. Rasa syukur tidak henti-henti kami ucapkan.
Kegigihan Mengantarku ke Perguruan Tinggi – Penulis: Safika Urrahmi
SAFIKA Urrahmi, inilah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku ketika aku dilahirkan pada 7 Juni 1998. Kelahiranku sangat dinantikan oleh kedua orang tuaku, Bapak Jufri dan Ibu Kamariah. Aku anak sulung yang mewarnai kehidupan rumah tangga mereka. Aku dan keluargaku tinggal di rumah kakekku dari pihak ibu yang berada di desa Dayah Blang Mangki, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie. Sejak kecil aku selalu dimanja oleh kedua orang tuaku. Mereka memenuhi apa saja yang aku inginkan (tentunya sesuai porsi anak kecil pada masanya).
Penghasilan ayah tidak semudah dan secukup ketika ayah masih bekerja di tempat kerjanya dulu karena ada kalanya jualan ayah tidak laku sehingga tidak ada pemasukan sama sekali. Sedangkan pengeluaran untuk kami jajan sekolah juga harus tetap dikeluarkan. Walaupun begitu, ayah tidak mau berhenti berusaha mencari penghasilan di bidang lain seperti membuat kandang ayam orang dengan keahlian yang dimilikinya sebagai kerja sampingan.
Begitu juga dengan ibu, beliau tak mau menyerah dengan berdiam diri. Beliau pergi ke sawah untuk menjadi tenaga upah. Melihat perjuangan kedua orang tuaku itu, aku semakin termotivasi untuk belajar dengan baik agar usaha mereka tidak sia-sia yang berjuang untuk sekolah kami.
Menjadi Driver Koala Pun Mau – Penulis: Nurmalasari
Nama saya Nurmalasari berasal dari Desa Air Sialang Hulu, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan. Ayah saya bernama Darmanto berusia 60 tahun. Ibu saya bernama Azima, berusia 47 tahun. Saya merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Ayah saya dulunya bekerja sebagai pemborong pengaspalan jalan. Banyak proyek yang ditangani ayah, tidak heran jika banyak tempat yang sudah ayah singgahi. Namun, seiring berjalannya waktu tenaga seperti ayah saya sudah tidak diperlukan lagi. Saat itu ayah masih menggunakan alat yang sederhana, sehingga memakan waktu yang lebih lama. Sementara orang lain sudah beralih menggunakan alat yang lebih cepat untuk membuat aspal. Ayah tidak mampu seperti mereka.
Dari sinilah kondisi keuangan keluarga kami mulai memburuk, tetapi ayah tak berdiam diri. Ia berusaha kerja apa saja untuk menafkahi kami dengan membawa mobil angkut pasir, kerja bangunan, kerja di kebun orang, hingga merantau ke Medan. Tidak hanya ayah yang bekerja, ibu pun ikut membantu perekonomian keluarga kami. Rumah saya berada di tepi sungai, biasanya banyak ibu-ibu yang mengangkut batu, atau pun kerikil untuk dijual, termasuk ibu saya. Biasanya setiap pagi ibu mulai membawa perlengakapannya, seperti; gerobak pengangkut pasir, batok kelapa untuk menggerus kerikil, cangkul, dan topi untuk berlindung dari panas matahari.
Dari Pembantu Tak Bergaji ke Jejak Sang Inspirasi – Penulis: Rahmatun Maula
NAMAKU Rahmatun Maula. Aku kuliah di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Empat tahun di kampus rasanya terlalu singkat bagiku. Perjuangan maraih gelar sarjana hanya menunggu paripurna. Artinya, setelah diwisuda, aku akan menjadi alumnus di sana. Bagiku, ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Tidak sabar rasanya ingin segera mengenakan toga walaupun jalan untuk meraih semua ini tidaklah sederhana. Dulu biaya hidupku dirantau didongkrak dari jualan keripik kiriman ibu dari kampung. Aku bahkan pernah menumpang di rumah orang selama dua tahun. Aku lahir dari keluarga sederhana. Ayahku seorang petani garapan dan ibu penjual kue ringan. Di sela menunggu panggilan menggunakan gaun toga, waktu yang tepat bagiku untuk pulang menghirup udara segar serta memberitahukan kabar gembira kepada ayah dan ibu.
Setiap ada masalah terkait sekolah, tidak pernah kuceritakan masalah tersebut ke orang tua. Mereka tidak memahami masalah sekolah, maklum kedua orang tuaku hanya lulus SD Sederajat. Namun, yang aku salut pada mereka, walaupun hanya tamat SD, mereka mempunyai keinginan untuk menyekolahkan anak-anaknya minimal tamatan SMA. Aku bangga sekali mempunyai orang tua seperti mereka.
Mengenang Ayah yang Lurus Hati – Penulis: Reshianda
SAYA Rehianda. Kuliah di prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. Pada awal kuliah, saya tidak mendapatkan beasiswa apa pun dan tidak berniat mengurusnya karena pada saat itu saya masih memiliki orang tua lengkap. Ayah pernah berpesan untuk tidak ikut beasiswa Bidikmisi karena ayah masih sanggup membiayai uang kuliah saya. Walaupun kami dari keluarga yang sederhana tetapi ayah tidak ingin sesuatu yang seharusnya menjadi hak orang lain malah jatuh ke tangan kami. Beliau merupakan sosok yang sangat tidak mampu melihat penderitaan dan kesusahan orang lain. Setelah saya dinyatakan lulus jalur SNMPTN, ayah sangat bangga dan saya dikenakan uang kuliah tunggal berkeadilan (UKTB) sebesar Rp1 juta. Formulir Pre-registrasi UKTB pun ditandatangani oleh ayah tepat pada 30 Mei 2016.
Sempat Ingin Menyerah Saja – Penulis: Fitriah
SAYA Fitriah, anak bungsu dari sebelas bersaudara yang terdiri atas lima laki-laki dan enam perempuan. Ibu saya Rodiah dan ayah Supeno (sudah almarhum). Dulu ayah bekerja sebagai seorang petani yang pergi pagi pulang sore untuk menyadap getah pohon karet. Ayah dibantu abang-abang saya dan terkadang kalau hari libur kakak juga ikut membantu mengutip getah karet di kebun. Saya yang kala itu masih sekolah dasar kadang juga ikut ke kebun sekadar bermain-main dengan motor butut dikendarai bertiga. Ibu saya berprofesi sebagai seorang ibu rumah tangga biasa. Ibu dan ayah dulu hanya sekolah SD, itu pun tidak tamat hanya sampai kelas VI saja. Begitu pula abang-abang saya, ada yang hanya lulusan SD ada yang sampai SMA saja. Alhamdulillahnya kakak-kakak saya sanggup berkuliah dengan susah payah meskipun akhirnya hanya menjadi guru honorer yang bahkan gajinya untuk uang jajan anaknya saja masih kurang cukup.
Pada 20 Desember 2012, ayah mengembus napas terakhir di Rumah Sakit Cut Meutia Lhokseumawe. Saat itu saya masih duduk di kelas I SMP dan sedang menjalani ujiankenaikan kelas. Betapa terpukulnya hati saya pada saat itu. Di usia yang belum terlalu dewasa, saya sudah harus kehilangan orang yang sangat saya cintai. Tetapi saya selalu ingat satu pesan ayah. “Apa pun cita-cita kamu, bapak pingin kamu jadi orang berguna bagi orang lain, kamu harus kuliah jangan seperti bapak dan mamak yang cuma lulusan SD,” kata ayah
Mengumpet Jualan di Sekolah demi Beli Buku – Penulis: Nurhaliza
SAYA Nurhaliza, orang-orang memanggil saya Nur atau Liza. Saya anak bungsu dari lima bersaudara yang dilahirkan di Neuheun, Aceh Besar pada 11 Juli 1999. Saya lahir dari keluarga kurang mampu. Ayah saya berkerja sebagai seorang petani yang berpenghasilan tidak lebih Rp50.000 per hari. Usia ayah telah menginjak setengah abad lebih atau 62 tahun. Sedangkan ibu bekerja sebagai buruh pabrik batu bata. Saya sangat bangga terlahir dari keluarga ini, walaupun kekurangan dari segi materi tetapi tidak pernah kurang kasih sayang yang mereka berikan kepada buah hatinya. Sejak usia enam tahun, saya mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang guru. Cita-cita tersebut didukung penuh oleh kedua orang tua saya. Dukungan itu mereka tunjukkan dengan mengantarkan saya ke bangku sekolah dan memberikan fasilitas yang saya perlukan. Orang tua saya tahu betul bahwa pendidikan itu penting.
Slip Gaji Ayah yang Membuat Keramat – Penulis: Riski Andayani
NAMA saya Riski Andayani. Saya kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan Pancansila dan Kewarganegaraan (PPKn), Universitas Syiah Kuala letting 2017. Saya berasal dari Kota Jantho, Aceh Besar. Sebelum kuliah, saya sekolah di SMA Negeri 1 Kota Jantho. Saya merupakan salah satu siswa dengan prestasi yang bisa dibilang cukup baik. Dari kelas I hingga kelas III SMA saya selalu mendapat peringkat kedua. Saya juga banyak mengikuti perlombaan dan olimpiade mewakili sekolah dan berbagai event lainnya. Saya tergolong murid yang cukup aktif ketika itu. Pihak sekolah sering megusulkan beberapa beasiswa untuk saya, baik beasiswa untuk siswa yang berprestasi maupun untuk siswa yang kurang mampu. Namun sayangnya tidak ada satu pun dari beasiswa itu yang saya dapatkan.
Keluarga saya sendiri bukanlah keluarga elit. Ayah saya bukanlah seorang pekerja di bawah dinginnya AC, bukan juga pekerja yang menduduki kursi empuk, dan bukan pula pekerja yang setiap ingin berangkat bekerja selalu berseragam rapi dan wangi. Ayah hanyalah seorang supir alat berat mobil giling perata tanah bebatuan sebelum diaspal. Ayah bekerja di bawah teriknya matahari sehingga tidak heran kulitnya kini hitam legam. Seragamnya baju lusuh dan celana kain yang memiliki beberapa jahitan tangan di beberapa bagian. Setiap ditanya kenapa tidak beli saja celana yang baru dengan gaji yang ayah dapatkan, ia selalu menjawab nanti saja dibeli celana lain kalau celana yang dipakai sudah tidak bisa dijahit lagi
Sepeda Tua Ayah – Penulis: Melati Sukma
NAMAKU Melati Sukma. Aku lebih akrab disapa melati. Aku berusia 19 tahun. Saat cerita ini kutulis, aku baru dua tahun tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Kelautan Dan Perikanan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Universitas Syiah Kuala. Aku sangat senang dan bersyukur bisa kuliah di sini ditambahkan lagi mendapatkan beasiswa Bidikmisi. Asalku dari Medan, tepatnya di daerah Belawan. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku memiliki kakak bernama Nurwahyuni yang berusia 27 tahun. Kakak berprofesi sebagai guru di SD Alwashliyah 3/32. Aku juga memiliki seorang abang bernama Lipo Pranata, biasa disapa Lipo. Ia berusia 26 tahun dan berprofesi sebagai TNI AD.
Aku anak dari pasangan Bapak Wagirin dan Ibu Faridah. Ayah berusia 53 tahun dan ibu berusia 51 tahun. Ayah seorang buruh tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan Ujung Baru Belawan. Sedangkan ibu seorang ibu rumah tangga. Aku alumni SMA Hang Tuah I Belawan lulus pada tahun 2018. Alhamdulillah melalui jalur SNMPTN aku berhasil masuk ke universitas negeri, yaitu Universitas Syiah Kuala. Aku sangat senang dan bangga sekali bisa tercatat sebagai mahasiswa di universitas ini.
Konflik Telah Merenggut Semua yang Kami Miliki – Penulis: Ernita Putri Linge
ERNITA putri Linge nama yang diberikan orang tua saya sejak kecil. Dari nama saja mungkin sebagian besar orang Aceh pasti tahu kalau saya berasal dari Aceh bagian tengah. Saya dilahirkan pada 2 Mei 1999 di Bener Meriah. Daerah kami sering disebut “negeri di atas awan” lantaran daerah kami berada di pegunungan yang sering tertutup oleh kabut tebal dan bersuhu sangat dingin. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya anak perempuan satu-satunya dalam keluaga. Kedua saudara saya bernama Firman Andy Putra dan Taqwa Andika. Orang bilang, kalau anak perempuan satu-satunya pasti manja. Hal itu tidak berlaku untuk saya dikarenakan keluarga kami adalah keluarga yang sederhana
Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat luar biasa bernama Rohaya IB. Ayah bernama Rahmad BR (sudah almarhum) sejak kami masih kecil. Ibu adalah sosok pahlawan tunggal yang mampu menghidupi anaknya dengan baik. Ibu memberikan apa yang kami butuhkan. Sebisa mungkin membuat kami tidak merasakan kehilangan sosok ayah yang seharusnya ada di sisi kami untuk ikut mendidik dan membesarkan kami. Untuk menghidupi kami, ibu mengerjakan banyak hal, mulai dari menjadi buruh cuci pakaian, buruh tani, menjual kacang goreng, menyangkul di ladang milik tetangga, sampai memasak untuk orang-orang kaya yang ada di sekitar kampung kami. Semua ini rela ibu lakukan sejak kepergian ayah tepatnya tahun 2001.
Jika Jadi Sarjana, Maka Saya yang Pertama – Penulis: Solihati
KENALKAN, saya Solihati, anak pertama dari tiga bersaudara. Saya dilahirkan pada 18 Agustus 2000 dari pasangan Saiful Bahri dan Nurlelawati di Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Ayah sudah berusia 53 tahun dan ibu 45 tahun. Dulunya saya memiliki dua orang adik, tetapi pada tahun 2008 lalu, adik pertama saya, Zahra Salsabila meninggal dunia karena sakit paru-paru basah dan bawaan jantung dari lahir. Keluarga kami cukup terpukul dengan berita tersebut. Kata dokter itu adalah penyakit yang sangat berbahaya, apalagi harus dialami oleh bayi yang baru saja lahir.
Saya terlahir bukan dari keluarga yang kaya raya. Keluarga kami sangat sederhana di mana ayah hanya seorang pekerja serabutan. Kadang beliau menjadi buruh bangunan atau kernet mobil angkut tanah. Tentu upahnya tidak banyak, bahkan untuk keperluan sehari-hari saja masi kurang. Per hari ayah hanya membawa pulang antara Rp20 ribu hingga Rp50 ribu. Begitu pula dengan ibu, beliau hanya seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai asisten rumah tangga. Gaji yang diterima ibu perbulannya hanya Rp1 juta saja dan uang itu banyak digunakan untuk membayar utang keperluan sehari-hari.
Ayah Tidak Kunjung Kembali – Penulis: Alivia Safira
PIA, begitu keluarga dan teman dekat biasa memanggilku. Aku bernama lengkap Alivia Safira. Aku anak bungsu dari enam bersaudara. Aku lahir pada 20 Juni 2000 saat keadaan ekonomi keluarga sedang kriris, kata ibuku. Keluarga kami adalah keluarga perantau. Setelah ayah menikah dengan ibu, mereka sering marantau. Pernikahannya tidak mendapat restu dari nenek. Karena itulah ibu dan ayah hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Kami berenam pun lahir di daerah yang berbeda-beda. Ada yang di Sabang, Subulussalam, Kota Fajar, dan aku sendiri di Rambayan, Kabupaten Pidie. Kehidupan ibu saat bersama ayah terbilang cukup untuk segala kebutuhan, namun entah apa alasannya akhirnya ibu dan ayah pulang kampung dan mulai tinggal di rumah nenek kembali. Kehidupan di kampung tidak memuaskan ditambah saat itu Aceh sedang dilanda konflik. Akhirnya ayah pergi merantau kembali, tetapi kali ini ayah pergi sendiri meninggalkan kami bersama ibu Sudah bertahun-tahun ayah pergi tidak kunjung pulang. Ibu pernah membawaku hingga ke Riau untuk mencari keberadaan ayah, hasilnya nihil. Ibu sempat mendapatkan kabar bahwa ayah menjadi korban konflik hingga ibu memutuskan berhenti mencarinya. Hingga kini kami tidak tahu keberadaan ayah entah masih hidup atau telah tiada.
Saat Terakhir Bersama Mama Sebelum Bencana Menelan Semuanya – Penulis: Hayatun Nisa’
NAMAKU Hayatun Nisa’, anak ketiga dari lima bersaudara. Aku anak yatim piatu. Kedua orang tua beserta adiku yang bungsu korban bencana alam tsunami tahun 2004 silam. Mendengar kata “tsunami” masih membuatku trauma. Sampai saat ini masih membekas di benakku belum bisa kulupakan. Saat musibah gempa bumi dan gelombang besar itu terjadi aku masih berusia tujuh tahun. Aku masih duduk di bangku MIN Teladan di Lamteumen, Banda Aceh. Mamaku seorang guru matematika lulusan Unsyiah. Sedangkan bapakku seorang pedagang. Kami hidup layaknya keluarga bahagia lainnya walaupun sederhana.
Alhamdulillah kini aku tercatat sebagai seorang mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi, PKK Tata Busana Unsyiah angkatan 2016. Meski telah lulus Bidikmisi, nyatanya aku tetap mengalami kesulitan karena tidak memiliki uang dan tidak tahu harus bekerja di mana. Apalagi harus mengikuti banyak kegiatan di asrama dengan peraturan yang banyak. Namun, tidak saya pungkiri bahwa Bidikmisi adalah salah satu beasiswa yang paling menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mampu namun memiliki cita-cita yang tinggi seperti kami. Aku berharap semoga beasiswa Bidikmisi ini tetap ada jangan sampai berhenti, karena sampai saat ini yang kurasakan Bidikmisi adalah beasiswa yang paling efektif dan mudah dijangkau terutama untuk anak kampung sepertiku.
Niat Berhenti di Semester Pertama – Penulis: Maulina M. Ad
NAMAKU Maulina M. Ad, lahir di Blangpidie, Aceh Barat Daya pada 20 Juni 2000. Buah hati dari pasangan Muhammad Andah dan Nurbaiti. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Ayahku hanya seorang petani, sedangkan ibu berjualan di kantin sekolah. Sebelum berjualan di situ ibu pernah berjualan jajanan sekolah yang dititipkan kepada orang lain. Pada saat aku masih sekolah sanawiah, kelas IX tahun 2015, aku pernah menjual mi goreng kepada teman-teman sekelasku.
Suatu ketika aku dapat informasi tentang beasiswa Bidikmisi di sekolah. Aku ingin kuliah di perguruan tinggi negeri di Banda Aceh. Aku ingin kasih tahu kepada orang tuaku. Namun itu semua harus disampaikan. Orang tuaku menolak mentah-mentah. Ibu menginginkan saya kuliah di Abdya saja. Akhirnya aku pun berangkat ke Banda Aceh untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku berangkat sehari sebelum ujian untuk memastikan ruang ujiannya di mana. Alhamdulillah aku lulus di jurusan Pendidikan Kimia, namun belum diumumkan apakah aku sebagai penerima beasiswa Bidikmisi atau tidak. Tak lama kemudian, pengumuman pun keluar, namaku tidak ada dalam daftar penerima Bidikmisi. Aku sangat sedih dan kusampaikan kepada ibu bahwa aku tidak jadi kuliah walapun sudah lulus. Namun ibu tidak menyetujuinya. Ibu menginginkan tetap harus lanjut kuliah kalau sudah melangkah jangan mundur lagi. Aku pun mengikuti saran ibu. Tetap kujalani dengan optimis pasti ada jalan keluarnya. Semester satu hampir usai, final pun hampir semua mata kuliah sudah kujalani. Aku berniat untuk menyelesaikan satu semester saja biar tidak semakin terbeban orang tuaku.
Memungut Botol dan Kardus Bekas demi Uang Jajan – Penulis: Irna Gustina
NAMAKU Irna Gustina, anak bungsu dari empat bersaudara. Aku memiliki dua orang kakak yang sudah berkeluarga dan seorang abang yang masih menjadi tanggungan orang tua. Aku berasal dari Desa Jorong Kubu Gadang Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh, Sumatera Barat. Ayahku Syafaruddin telah berusia 63 tahun dan ibuku Yarni 62 tahun. Ketika aku masih berusia tujuh tahun, aku sudah mulai membantu ibu bekerja di sawah. Ayah juga bekerja sebagai pemelihara sapi tetangga.
Pada usia seperti ini seharusnya aku menikmati masa anak-anak bersama teman-temanku yang lainnya. Namun, karena keterbatasan biaya aku harus membantu orang tuaku. Sepulang sekolah aku pergi ke sawah di tempat ibuku bekerja menangkap ikan untuk dijual. Aku berjalan kaki menyusuri perkampungan dengan membawa ikan untuk ditawarkan kepada warga. Banyak warga yang simpati memberikan uang lebih untukku. Terkadang ada tetangga yang memberikan baju anaknya yang sudah tidak dipakai lagi.
Sebuah Impian Anak Kampung – Penulis: Rayhan Hayati
KENALKAN, saya Rayhan Hayati salah satu mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi Universitas Syiah Kuala. Saat ini saya sudah memasuki semester delapan pada Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian. Saya berasal dari keluarga yang sederhana. Kedua orang tua masih lengkap. Bapak bernama Dufri Risyad dan mama bernama Rosniah. Keduanya sudah berumur di atas 50 tahun. Semangatnya mencari rezeki untuk anak-anaknya agar tetap dalam pendidikan tidak pernah padam walaupun kondisi fisiknya sudah mulai rapuh.
Waktu pun terus berjalan, siswa kelas XII mulai sibuk dengan ujian akhir sekolah dan juga ujian nasional. Suatu hari saya meminta pendapat pada bapak tentang keinginan kuliah. “Pak, kak Reyhan mau melanjutkan kuliah setelah selesai sekolah SMA ini.” Bapak menjawab bahwa bapak tidak melarang impian anak-anaknya, tetapi ia mengatakan serta meminta maaf kalau nanti bapak tidak bisa membiayai uang kuliah saya. “Bapak khawatir nanti akan putus di tengah jalan, kak Reyhan kan tahu sendiri bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita,” lirih bapak. Saya sempat terdiam waktu itu sambil menunduk dan meneteskan air mata mengingat kembali kata-kata bapak saat itu. Kemudian bapak bertanya lagi “Rencana kak Rayhan mau lanjut kuliah di mana?” bapak kembali bertanya.
Mewujudkan Mimpi Bersama Bidikmis – Penulis: Shelly Anggie Pratiwi
NAMA saya Shelly Anggie Pratiwi, anak bungsu dari dua bersaudara. Saya memiliki seorang abang yang terpaut tiga tahun dari saya. Mama saya hanya ibu rumah tangga biasa. Namun bagi saya beliau mama yang luar biasa. Sejak saya kelas II SMA, mama harus berjuang sendiri menghidupi kami karena bapak sudah terlebih dahulu menghadap kepada Sang Pencipta. Di sinilah cerita perjuangan saya berawal. Saya mulai berpikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri langkah apa yang mesti saya tempuh setelah tamat SMA. Hanya satu saja yang mendominasi pikiran saya, yaitu membantu meringankan finansial keluarga.
Di saat yang sama, abang juga sangat membutuhkan uang untuk melanjutkan pendidikannya, namun ia juga harus menguburkan impiannya untuk kuliah karena terkendala dengan biaya juga. Sebenarnya saat itu ada peninggalan almarhum bapak yang juga berasal dari harta warisan dari kakek, namun jatah ayah tidak diberikan oleh keluarga besar ayah karena dibutakan oleh ketamakan. Kondisi ini membuat saya mengurungkan niat untuk lanjut kuliah karena pasti membutuhkan uang yang banyak. Setiap mendengar pembahasan teman-teman saya yang bersinggungan dengan perkuliahan, saya sedih dan khawatir tidak bisa seperti mereka.
Tidak Sabar Ingin Mengenakan Toga – Penulis: Riska Nurmalinda
SAYA Riska Nurmalinda, penerima beasiswa Bidikmisi angkatan 2016. Saya anak sulung dari empat bersaudara. Saya lahir di Tungkam Abadi, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara,08 Agustus 1997. Saya sekolah di SMA Negeri 1 Seruway, Aceh Tamiang dan tinggal di tempat saudara. Jarak dari rumah ke sekolah memakan waktu sekitar 20 menit berjalan kaki setiap pagi. Ayah tidak tega melihat saya jalan kaki setiap hari sehingga ayah memberikan motor yang ia gunakan untuk mencari rezeki kepada saya.
Ayah dan mama sehari-hari bekerja sebagai petani. Saya sedih ketika melihat keaadaan ayah dan ibu yang pendapatannya pas-pasan. Setiap ada perlu untuk pergi kemana-mana mereka harus meminjam motor tetangga. Namun hal tersebut membuat saya sadar bahwa saya harus belajar lebih giat lagi agar apa yang telah mereka korbankan berbuah hasil. Singkat cerita, saya lulus di jurusan Ekonomi dan Bisnis/ Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unsyiah. Saat yang bersamaan saya lulus seleksi administrasi calon penerima beasiswa Bidikmisi tahap pertama. Kemudian diharuskan untuk daftar ulang dan juga ujian lainnya seperti wawancara dan osimpus ke Banda Aceh.
Ingin Berhenti Kuliah dan Menjadi Sipir Penjara – Penulis: Rikayana
KENALKAN, saya Rikayana, salah satu mahasiswa di Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek), Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), Unsyiah angkatan 2016. Saya berasal dari kabupaten Bener Meriah, tepatnya di Desa Blang Kucak, Wih Pesam. Daerah kami sering disebut dengan negeri di atas awan. Saya bangga berasal di sana karena daerah kami salah satu kabupaten penghasil kopi terbaik dunia, yaitu kopi Gayo. Saya anak sulung dari tiga bersaudara. Saya memiliki dua adik laki – laki, yang satu sedang sekolah di jenjang SMA dan satu lagi masih sekolah dasar. Saat ini saya dan adik saya yang SMA sama-sama merantau, jauh dari orang tua. Adik di SMK N PP Saree, Aceh Besar sedangkan saya di Banda Aceh.
Ayah bernama Mahaga Ariga dan ibu bernama Anisah. Pendidikan terakhir ayah sampai SMA, sedangkan ibu hanya sampai SMP. Saat ini ayah bekerja sebagai petani dan ibu juga seorang ibu rumah tangga yang terkadang juga membantu ayah untuk mengurus kebun. Orang tua saya memiliki kebun yang berada di kampung tempat saya tinggal. Tidak hanya itu, terkadang ayah saya memiliki pekerjaan sampingan seperti menjadi pekerja bangunan dan memasang listrik freelance di gedung dan di rumah-rumah warga dengan pendapatan antara 350.000 – 750.000 per bulannya, itupun tidak menentu.
Kuliah Bukan Soal Uang tetapi Kemauan – Penulis: Putri Melania
SAYA Putri Melania, mahasiswa jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala angkatan 2018. Saya berasal dan lahir di Pereulak, Aceh Timur, 15 Desember 2000. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Saya memiliki seorang saudara perempuan dan tiga orang saudara laki-laki. Ayah saya bernama Sulaiman Syarif dan ibu bernama Ruliani. Ayah dulunya bekerja sebagai guru SMA. Ayah sudah lama pensiun ketika saya masih berusia 14 tahun. Sedangkan ibu bekerja menjual nasi di ruko sewaan. Terkadang saya juga ikut membantu ibu jualan sepulang sekolah. Sejak usia tiga bulan hingga SMP saya dirawat oleh nenek yang tinggal di Langsa. Selama 14 tahun saya selalu di samping nenek dan jarang mau pulang ke rumah orang tua sendiri. Namun, ketika tamat SMP ayah meminta saya untuk pindah kembali ke rumah orang tua karena sudah saatnya saya tinggal bersama keluarga. Setelah dua tahun saya bersama keluarga sendiri, tepatnya tahun 2016 saat saya sudah duduk di kelas II SMA, ayah pergi untuk selamanya menghadap Allah. Ayah menderita kanker paru-paru sangat parah, yaitu stadium empat yang tidak bisa disembuhkan lagi.
Dari Negeri Dingin ke Tanah Pesisir – Penulis: Halmaida
SAYA Halmaida dan salah satu mahasiswa penerima Bidikmisi di Unsyiah. Saya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, memiliki satu kakak bernama Ratnawati dan sudah menikah, serta satu adik laki-laki bernama Muhammad Agus yang masih kelas enam di MTsN Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah. Ayah saya bernama Pairan dan kini berusia 54 tahun yang bekerja sebagai petani, sedangkan ibu bernama Hairani kini berusia 52 tahun dan seorang ibu rumah tangga. Saya berasal dari daerah yang sering disebut sebagai negeri di atas awah di dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kabupaten Bener Meriah. Keinginan orang-orang di daerah kami untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi masih kecil hingga beberapa tahun lalu. Mereka berpikir kuliah tidak terlalu penting dan beranggapan bila akhirnya akan menjadi petani juga seperti mayoritas penduduk di negeri kami. Kami bukan dari keluarga yang berada dan kedua orang tua saya bukanlah seorang PNS dan sejenisnya. Orang tua saya hanya seorang petani yang terkadang turut menjadi buruh tani di kebun kopi orang. Akan tetapi, saya sangat bersyukur walaupun kedua orang tua saya petani mereka menyadari pentingnya pendidikan.
Mengejar Mimpi dengan Bidikmisi – Penulis: Nadia Dart
HAI, saya Nadia Darti. Saya anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Tambi Sayuti dan Siti Rahmah. Berbicara tentang pendidikan, alhamdulillah saya cukup beruntung, mengapa saya katakan begitu? karena dengan keadaan keluarga saya yang termasuk ekonomi ke bawah, tetapi ayah dan ibu selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Saya paham sekali alasannya, tentunya agar kami tidak merasakan betapa sulitnya kehidupan terutama dalam bidang ekonomi. Tidak seperti ayah dan ibu yang harus berjuang keras untuk menafkahi kami, kerja banting tulang demi anak-anak tercintanya.
Pekerjaan ayah saya adalah seorang tukang patri, yaitu membuat cetakan kue bolu, lontong, dan kue-kue lain yang terbuat dari bahan aluminium dan seng. Selain itu ayah juga bisa memperbaiki barang-barang yang rusak seperti kompor, panic, oven, dan lainnya. Meskipun terkadang ada beberapa teman yang mencibir pekerjaan ayah saya, tetapi saya bangga karena ayah melakukan pekerjaan tersebut dengan halal dan ikhlas. Bahkan menurut saya tidak semua orang memiliki seni dan keahlian seperti yang ayah miliki.
Anak Kuli yang Bisa Kuliah – Penulis: Trisna Putri
SAYA sulung dari tiga bersaudara. Adik pertama saya masih duduk di kelas tiga SMA dan yang bungsu masih kelas tiga SD. Saya berasal dari keluarga sederhana, seorang ayah yang bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan pas-pasan, dan ibu yang bertugas merawat kami di rumah. Sejak kecil, tidak pernah terlintas keinginan untuk kuliah di benak saya karena sadar dengan kondisi ekonomi keluarga. Saat teman-teman punya cita-cita untuk kuliah, saya hanya mendengarkan saja tanpa ingin berandai-andai. Pernah dulu ada saudara yang sudah kuliah mampir ke rumah kami di RT 6 Jantho, Aceh Besar, saya yang sangat penasaran dengan dunia perkuliahan bertanya banyak padanya. Namun, sepulang mereka ayah mengatakan sesuatu pada saya. “Jangan pernah tanyakan lagi perihal perkuliahan karena ayah takut nanti Tina nggak bisa merasakan hal itu juga,” kata ayah. Sejak saat itu tertutuplah cita-cita saya untuk kuliah. Saya sekolah di SD Unggul Kota Jantho. Orang tua teman-teman saya bisa dibilang umumnya berasal dari kalangan berada. Saya ingat, setiap pengambilan rapor, ayah selalu datang dengan baju kerjanya yang basah oleh keringat. Ia maju ke depan kelas untuk mengambil rapor saya yang setiap tahun selalu juara pertama.
Kebaikan Yah Wa – Penulis: Fitria
PERKENALKAN, saya Fitria, anak kedua dari lima bersaudara. Saya mempunyai seorang kakak dan tiga orang adik laki-laki. Ayah saya bekerja sebagai petani dan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Saya mahasiswa Jurusan Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikangan Unsyiah angkatan 2016. Selain itu, saya juga salah satu mahasiswa penerima Bidikmisi. Kisah awal pertama kali saya mendapatkan Bidikmisi ini melalui bantuan dari pihak sekolah di SMA N 1 Meukek, Aceh Selatan. Sejak kecil saya memang bercita-cita untuk melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang tinggi, minimal sampai S1. Saya ingin membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua saya, serta ingin mengubah kehidupan keluarga menjadi lebih baik lagi. Ketika sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, menjelang ujian nasional semua siswa mengikuti pendaftaran agar dapat masuk ke universitas melalui SNMPTN dan SBMPTN. Saat melihat semangat kawan-kawan yang mendaftar kuliah, saya juga berencana untuk mendaftar. Akan tetapi, muncul sedikit keraguan di hati mengingat kondisi keluarga yang sederhana. Saya takut orang tua nanti tidak sanggup membiayai kuliah saya dan akan menambah beban mereka.
Genggam Mimpimu Semasih Bisa – Penulis: Zawil Akmalia
PERKENALKAN namaku Zawil Akmalia yang dilahirkan dari pasangan Bapak Musa dan Ibu Ruwaida. Aku biasa dipanggil Zawil dan umurku saat ini 19 tahun. Aku berasal dari Gampong Lamtheun, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, saudara laki-lakiku kini berusia 21 tahun dan adikku berumur enam tahun. Ayahku bekerja sebagai cleaning service di salah satu instansi pemerintah di Kota Banda Aceh. Ibu, selain sebagai IRT juga bekerja menyetrika pakaian salah satu keluarga di kampungku. Aku selalu bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Namun, saat masih kelas tiga SMP, aku mulai berpikir bisakah melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan keluargaku bukanlah orang berada. Saat itu aku juga mengikuti olimpiade fisika tingkat SMP karena yang terlintas di pikiran, jalan satu-satunya untuk melanjutkan pendidikan adalah dengan menjadi siswa berprestasi. Namun, sayangnya aku tidak mendapat juara.
Pantang Absen Kecuali Sakit – Penulis: Andrul Zulfan
SAYA adalah sulung dari empat bersaudara yang lahir pada 29 Agustus 1997 di Gampong Alue Sungai Pinang, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya. Ayah saya Jumardi bekerja sebagai petani dan buruh bangunan, sedangkan ibu selain menjadi IRT juga turut membantu ayah berkebun. Penghasilan orang tua hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Bila anak-anak lain merasakan yang namanya bangku TK, tidak demikian dengan saya. Orang tua lebih memilih mengajarkan saya baca tulis sendiri di rumah. Walaupun begitu, saya tetap tidak kalah dalam pelajaran seperti anak-anak seusia lainnya hingga akhirnya saya melanjutkan sekolah dasar di SD N 2 Jeumpa dan lulus pada 2010. Tamat dari sana saya melanjutkan ke SMP N 1 Blangpidie. Setiap harinya saya ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 3 km selama tiga tahun. Bila hujan saya memakai payung atau jas hujan, kondisi itu sama sekali tidak menyurutkan niat saya untuk pergi sekolah. Pantang bagi saya absen kecuali sakit. Pulang sekolah saya membantu ayah di kebun pala, di samping itu juga memilih buah pala di kebun orang untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Saat SMP saya pernah mendapatkan peringkat pertama dan pernah terpilih sebagai siswa kelas unggul. Saya lulus tahun 2013 dan melanjutkan ke MAN Blangpidie yang saya idamkan.
Transferan Pertama dan Terakhir dari Ayah – Penulis: Lola Novayana
AKU Lola Novayana dan saat ini tercatat sebagai salah satu mahasiswa di Universitas Syiah Kuala angkatan 2017. Aku berasal dari Kabupaten Pidie Jaya, tepatnya dari Gampong Balee Musa Kecamatan Bandar Baru. Aku sulung dari enam bersaudara, punya tiga adik perempuan dan dua adik laki-laki. Adik pertamaku, Zia Ulhaq, saat ini kuliah di UIN Ar-Raniry angkatan 2018. Adik keduaku, Muhaimin, saat ini duduk di bangku kelas VIII Pesantren Darussa’adah Teupin Raya. Adik ketigaku bernama Nadia Latifa dan masih duduk di kelas IV SD di kampung. Adik keempat bernama Silmi Ahya masih kelas II SD, dan yang bungsu, Bahrul Hafiz, masih balita. Ibuku bernama Nur Hanifah dan sekarang berusia 43 tahun, sedangkan ayah bernama M. Yacob Husen dan berusia 54 tahun sekarang. Awalnya kehidupan kami sekeluarga baik-baik saja dan berkecukupan. Keluarga memiliki tiga pintu toko, punya mobil, dan penghasilan besar setiap bulannya. Dulu ayah punya toko kelontong yang bisa dibilang besar, punya warung kopi, dan toko perlengkapan sekolah. Namun, pada 2015 ayah mengalami kebangkrutan dan kehilangan semua harta benda.
Kabar Bahagia untuk Ibu – Penulis: Muhammad Hayatullah
AKU dilahirkan di Kuala Lumpur pada 8 November 1999. Anak sulung dari lima bersaudara. Kini keluargaku bermukim di Gampong Uteun Geulinggang, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Akrab dipanggil Hayat, aku dibesarkan oleh ibu sejak ia berpisah dengan ayah. Ibu hebat itu bernama Siti Syarifah dan biasa dipanggil Ibu Sri. Ayahku bernama Saiful Amirul Shah dan saat ini menetap di Malaysia. Penghasilan kedua orang tuaku tidak seberapa, cukup untuk makan sehari-hari. Walaupun sudah berpisah, kedua orang tua masih menyayangi dan menafkahi kami. Aku mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah angkatan 2018, tepatnya di Jurusan Teknik Mesin dan Industri Prodi S1 Teknik Industri. Awal kuliah merupakan masa-masa sulit bagiku dan keluarga, apalagi pendapatan ayah tidak selalu dapat diharapkan karena pekerjaannya bergantung pada proyek yang dikelola. Itu pun tidak selalu ada. Ditambah dengan kondisi kedua orang tua yang sudah lima tahun berpisah.
Seuntai Asa Meraih Impian – Penulis: Rini Anggraini
INILAH sepercik kisahku sebagai salah satu mahasiswa penerima Bidikmisi. Nama saya Rini Anggraini, lulusan SMA N I Julok, Aceh Timur. Saya tinggal di Desa Labuhan, saat itu keluarga saya masih menumpang di gubuk tua milik nenek yang atapnya tak sanggup menahan tetesan hujan dan dindingnya sudah rapuh. Saya sulung dari tiga bersaudara. Ayah saya, yang bernama Irawan telah meninggal dunia pada 21 Desember 2014 saat saya masih kelas satu SMA. Awalnya saya pindahan dari SMA swasta di Stabat, Sumatera Utara saat semester pertama kelas satu. Baru dua minggu pindah ke Julok, ayah sakit dan harta benda yang kami miliki sudah habis untuk membiayai pengobatannya. Terpaksa kami hanya bisa merawat ayah di rumah yang sederhana. Ada kejadian paling menusuk hati ketika suatu malam hujan turun sangat deras, air hujan menetes dari atap rumah yang bocor. Malam itu tak seorang pun di antara kami yang bisa tidur karena hampir seluruh atap yang terbuat dari daun rumbia itu bocor. Ayah yang sedang sakit pun tidak bisa tidur nyenyak, belum lagi setiap tengah malam ayah selalu merintih sakit di kepalanya. Saya hanya bisa memijit kepalanya dengan balsem. Listrik pun padam malam itu.
Kebaikan Pak Amir – Penulis: Ririn Erianda
SAYA adalah bungsu dari tiga bersaudara yang bernama Ririn Erianda. Saya lahir pada tahun 1999 di Banda Aceh dari rahim seorang malaikat bernama Netty Herawati. Ibu saya berasal dari Medan dan kini berusia 56 tahun. Ayah saya bernama Bukhari dan kini berumur 58 tahun. Saya memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Rival Ariyandi dan Fuad Irmawan. Ayah bekerja sebagai penjual pisang dan ibu seorang IRT. Ayah sangat gigih bekerja, saat semua orang masih terlelap dalam tidur nyenyak, ayah sudah bergegas berbelanja pisang di Pasar Induk Lambaro, Aceh Besar selepas salat Subuh. Ia ke pasar dengan Vespa warna hijau kesayangannya. Kadang-kadang, abang juga ikut serta membantu ayah. Dengan ekonomi yang pas-pasan, saya sangat ingat nasihat ayah, “Cukup ayah saja yang tidak sekolah dan susah seperti ini, tapi kalian bertiga harus jadi orang sukses.” Kalimat ini menjadi penyemangat kami untuk terus bersekolah. Keluarga sederhana kami sering disapa dengan sebutan miskin. Kami sering dipuji dengan kalimat anak tukang pisang goreng. Dan kalimat-kalimat itulah yang membuat saya dan kedua abang saya untuk bangkit dan membuktikan bahwa kami bisa lebih dari sekadar mendapat pujian seperti itu.
Pemburu Nasi Gratis – Penulis: Afrizal Dolian
SAYA berasal dari Kelurahan Tamiang, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ayah saya bernama Abdul Manap Nasution dan emak bernama Masdariah Lubis. Saya bungsu dari enam bersaudara, punya tiga abang dan dua kakak. Sebenarnya saya punya seorang adik, tapi Tuhan memanggilnya begitu cepat. Kami sekeluarga tinggal di rumah warisan peninggalan kakek. Rumah yang kami tempati berkonstruksi kayu dan sudah sangat ringkih sehingga atapnya ada yang bocor sedikit. Ayah saya bekerja sebagai guru SD di Provinsi Riau, pulang sebulan sekali untuk mengantar belanja kepada kami. Ibu bekerja sebagai petani sawah dan penyadap karet di lahan warisan dari kakek. Ibu dan ayah sangat bekerja keras untuk menafkahi dan menyekolahkan kami anak-anaknya. Dari kecil saya sudah belajar untuk bekerja keras dan mandiri, bahkan sejak di bangku TK. Kebanyakan teman saya pergi dan pulang sekolah dengan mobil yang sudah disewa khusus oleh orang tua mereka. Sedangkan saya bersama tiga teman anak tetangga lainnya, memilih berjalan kaki saja untuk mengurangi pengeluaran orang tua
Demi Ayah yang Sudah Tak Ada – Penulis: Cut Tya Asria
SAYA salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang beruntung di negeri ini karena menerima Bidikmisi. Hakikatnya, dalam sebuah kehidupan roda akan selalu berputar, kadang di bawah kadang pula di atas. Tak ada yang tahu takdir-Nya. Tak ada pula yang tahu jalan ceritanya, sebab Allah lah yang mengaturnya dan sebagai seorang hamba kita hanya perlu menerima. Apa pun kehendak yang telah dan akan terjadi untuk kita, dan inilah kisah saya. Saya berasal dari sebuah desa kecil di Aceh Barat Daya. Saya merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Ayah bernama Teuku Aswazi dan ibu bernama Risa Yunida. Saya terlahir dari keluarga yang terbilang berada, hidup berkecukupan dengan keluarga yang bahagia. Masa itu, ayah adalah seorang pedagang yang bisa dibilang sukses pada masanya, tanpa utang, tanpa hambatan, dan semuanya begitu mudah dilewatkan. Namun, seperti yang telah kita ketahui, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Semuanya bermula saat saya menginjak remaja tepatnya saat duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama. Awal mulanya ayah didiagnosa mengidap penyakit diabetes melitus yang menyerangnya, ditambah lagi dengan berbagai komplikasi penyakit lainnya. Ayah tak sanggup menjadi seperti dulu lagi, ayah sudah lemah dan banyak hal-hal yang membuat ayah harus meninggalkan pekerjaannya.
Bahkan Setiap Gadis Menyukai Pria Berpendidikan – Penulis: Zulfahmi
SAYA biasa dipanggil Fahmi. Nama lengkap saya Zulfahmi. Mahasiswa angkatan 2017 Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FKIP Unsyiah. Saya sangat bersyukur bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi kebanggaan rakyat Aceh dan mendapat Bidikmisi. Inilah sepenggal kisah mengenai kegelisahan hati saya sebelum mendapatkan Bidikmisi. Kisah ini bermula sejak saya berada di kelas tiga MAN Model Banda Aceh. Entahlah, sebentar lagi akan ujian nasional, semua teman-teman saya sudah mulai menetapkan tujuan ke mana langkah berikutnya. Sedangkan saya, belum ada kejelasan apakah melanjutkan kuliah atau memilih menjadi pekerja dini yang baru lulus madrasah aliah. Atau… menganggur dan ditertawakan karena tidak punya masa depan? Saya benar-benar bingung mengenai keputusan berikutnya. Ke mana saya akan menuju? Bagaimana masa depan saya setelah lulus dari madrasah aliah?
Kesempatan Terakhir – Penulis: Zakiroh Mutawakkil
SAYA lulus MTs tahun 2011, tapi baru bisa melanjutkan ke SMK dua tahun berikutnya karena terkendala biaya. Saat itu keuangan keluarga sedang hancur-hancurnya, padahal sebelumnya kondisi finansial orang tua mencukupi bahkan bisa dibilang lebih. Ibu sendiri sudah menjadi PNS sejak masih lajang. Namun, semuanya hilang dalam sekejap karena keluarga terlilit utang di bank. Sampai-sampai untuk makan saja keluarga kami harus berbagi. Kami makan bukan untuk kenyang, tapi yang penting bisa mengganjal perut agar tidak kelaparan. Uang makan sehari-hari kami dapatkan dari hasil menjual kertas bekas. Aku tipikal anak yang suka sekolah, sehingga sering sekali merengek pada umi agar didaftarkan ke SMA. Akan tetapi, rengekan itu hanya berujung dengan air mata. “Ki, bukan Ummi gak mau sekolahin kamu, tapi kamu bisa lihatkan gimana keadaan kita sekarang? Jangankan kamu yang malu karena enggak bisa lanjut sekolah, Umi juga sebenarnya lebih malu, masa anak PNS enggak bisa sekolah kalau dibandingkan dengan orang yang penghasilannya pas-pasan.”
Membangun Impian dari Kolong Meja Buah – Penulis: Nadila Miranti
NADILA Miranti adalah sebuah nama penuh makna yang diberikan oleh orang tua saya. Bermakna seorang wanita yang kuat dan tegar. Saya merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, saya punya dua kakak dan seorang abang. Saya lahir di Kota Langsa pada 17 Oktober 1998, dididik dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang sungguh luar biasa hebatnya. Ibu saya bernama Jamaliah dan ayah bernama Marhaban. Tahun 2000 ketika saya masih berumur dua tahun, terjadilah puncak pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka yang ingin berpisah dari Indonesia dan telah bergejolak sejak 1976. Situasi yang tidak kondusif di Kota Langsa membuat kami sekeluarga pindah ke Kota Sabang. Saat pindah ke Sabang, kami hanya membawa selembar pakaian yang menempel di badan. Itu karena rumah dan seluruh harta benda kami di Langsa telah hangus dibakar oleh orang tak dikenal. Di Sabang, kami memulai semuanya dari nol. Kami sekeluarga menumpang di rumah nenek yang kecil dan tinggal di bagian gudang dekat atap rumah. Tidur hanya beralaskan kardus dan ditemani nyanyian nyamuk dan tikus yang berlalu-lalang.
Orang Tuaku Pedagang Sayur, Aku Harus Sarjana – Penulis: Ade Widya Yunanda
SAYA anak pertama dari tiga bersaudara. Adik pertama saya Sinta Okta Vianda duduk di bangku SMP kelas 2 dan si bungsu Muhammad Aufar masih di bangku TK. Saya anak dari pasangan Yusdi Idris dan Yati Nuryani. Ayah saya bekerja sebagai pedagang sayur di pasar, tetapi karena kondisinya yang sakit-sakitan sehingga ibu yang awalnya sebagai IRT harus turun tangan membantu perekonomian keluarga setelah ayah tidak bisa bekerja terlalu keras lagi. Ibu mengambil peran ayah untuk menghidupi kebutuhan keluarga, mulai dari dapur sampai biaya sekolah anak-anaknya. Ayah memang masih bekerja, tapi hanya sebatas membantu ibu membawa barang dagangan karena kondisinya yang tidak memungkinkan lagi. Kami anak-anaknya pun tidak bisa menuntut lebih dalam banyak hal. Sejak masih sekolah di MAN Tungkob, Darussalam, Aceh Besar saya bercita-cita ingin masuk perguruan tinggi bagian kesehatan, baik jurusan kedokteran, kedokteran hewan, maupun keperawatan. Awalnya saya mengikuti jalur SNMPTN dan terdaftar sebgai calon penerima Bidikmisi. Ibu saya sangat senang karena beliau sangat ingin saya lulus kuliah, sukses, dan bisa membantu adik-adik selanjutnya. Namun, nasib saya kurang beruntung, saya dinyatakan tidak lulus. Walaupun begitu tidak membuat saya menyerah, saya kembali mengikuti ujian seleksi SBMPTN dan alhamdulillah segala puji bagi Allah, saya dinyatakan lulus dengan jurusan yang saya gemari di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).
Asaku Mengejar Impian hingga ke Aceh – Penulis: Pretty Olan Oktavia Sihite
Saya lulus SMA tahun 2015, tapi baru bisa kuliah tahun 2016. Sebenarnya, tahun sebelumnya saya lulus di salah satu universitas di Jawa, tapi saya tidak berani melangkah karena tahu kondisi. Bapak saya hanya seorang kuli bangunan dan harus menghidupi lima orang anak. Saat itu adik kedua saya akan masuk SMA, adik ketiga masuk SMP, dan adik keempat masuk SD, sedangkan adik bungsu masih dalam pengasuhan karena masih balita. Dengan kondisi tanpa ibu, keadaan itu sungguh menyulitkan bagi saya. Akhirnya, meskipun lulus ke perguruan tinggi pada tahun 2015, saya terpaksa memupuskan harapan untuk melanjutkan pendidikan. Namun, saya tetap bersyukur dan bahagia karena adik-adik saya bisa bersekolah Ibu meninggalkan kami semua saat saya masih SMA. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana rimbanya. Berselang tahun kemudian, bapak menikah lagi ketika saya mau masuk kuliah. Sejak saat itu saya putus hubungan sama bapak. Sementara itu, saya dan adik-adik tinggal bersama nenek dari pihak ibu. Nenek dan keluarga dari pihak ibulah yang mengurus kami semua, padahal kondisi ekonomi mereka juga terbatas. Namun, solidaritas sesama keluarga sangatlah kuat.
Kisah Piatu Menggapai Mimpi – Penulis Rozatul Miyana
SAYA Rozatul Miyana. Salah satu penerima beasiswa Bidikmisi dan saat ini kuliah di Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala angkatan 2017. Ayah saya bekerja sebagai buruh nelayan, kadang-kadang juga melakukan pekerjaan lain seperti berjualan. Sedangkan ibu telah meninggal dunia sejak usia saya tujuh tahun. Saat itu saya masih kelas tiga SD. Oh ya, saya memang cepat masuk SD, saat masih umur lima tahun. Saya memang sempat sekolah di TK, tapi hanya delapan bulan. Sejak ibu tiada, saya tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu. Setahun atau dua tahun setelah kepergian ibu, ayah menikah lagi dan kami mulai tidak tinggal di bawah atap yang sama. Saat masih ada ibu, kami sekeluarga memang tinggal bersama kakek dan nenek karena ibu satu-satunya anak perempuan mereka.
Titik Terang – Penulis: Rosnita
Perkenalkan nama saya Rosnita, anak kedua dari empat bersaudara. Saya adalah anak dari seorang ayah yang di KTP-nya bertuliskan petani di kolom pekerjaan. Namun, profesi itu tidak pernah dilakoni oleh ayah karena kami tidak memiliki sawah atau kebun yang luas untuk menanam padi sehingga bisa menghasilkan banyak uang. Ayah saya seorang pekerja keras. Segala pekerjaan yang menghasilkan uang dan halal tentunya tidak pernah dilewatkan dan disia-siakannya. Walaupun, pekerjaan yang dilakukan itu sangat menguras tenaga dan mendapatkan hasil yang sedikit, seperti menarik kayu yang panjangnya kurang lebih 3-4 meter dengan tebal sekitar 15-20 sentimeter dari gunung hingga ke lembah sungai yang jaraknya berkilo-kilo meter, sampai tangannya bengkak dan mengelupas dimakan air dengan upah Rp75.000 per kayu.
Jatuh Bangun Mengejar Bidikmisi agar Bisa Kuliah – Penulis: Yulianisah
Nama saya Yulianisah. Saya terlahir dari keluarga sederhana yang sudah terbiasa menjalani hidup serbakurang. Namun, itu sama sekali tidak mematahkan semangat saya untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang sarjana. Ibu saya bernama Siti Aisyah, wanita terbaik dan paling mengerti anak-anaknya. Ibu segalanya bagi saya karena ia sanggup melakukan apa pun untuk memenuhi semua keinginan anak-anaknya. Ayah saya bernama Kasdi. Laki-laki yang paling hebat. Sehari-hari ayah bekerja sebagai nelayan, pergi setelah azan Subuh dan pulang pada waktu zuhur. Semua itu dilakoni ayah untuk membiayai kebutuhan keluarga dengan tanggungan empat orang anak kandung, dan satu keponakan dari pihak ibu yang kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia.
Uang Rp67.000 dari Ayah – Penulis: Hajarul Nufus
ALHAMDULILLAH. Tak henti-hentinya aku bersyukur karena akhirnya bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Aku mendapat kesempatan menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi dari Universitas Syiah Kuala angkatan 2016. Aku lulus di Jurusan Fisika FMIPA Unsyiah.
Namaku Hajarul Nufus, putri dari pasangan Marzuki Jalil dan Erniati Agani. Aku berasal dari Bireuen dan lulusan SMA N 2 Peusangan, Kabupaten Bireuen. Saat mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), pilihan pertamaku adalah Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran dan pilihan kedua di Jurusan Fisika FMIPA Unsyiah, sedangkan pilihan ketiga kuambil di Unimal, yakni Jurusan Sosiologi. Aku senang lulus di Unsyiah walaupun bukan pilihan pertama. Selama menunggu pengumuman kelulusan SNMPTN, aku selalu membaca surah Yasin setelah salat lima waktu dan memohon kepada Allah Swt. agar lulus. Aku memang bertekad menyambung kuliah karena aku memiliki prinsip ilmu itu di atas segalanya. Seseorang yang berilmu, akan menjadi terarah hidupnya, naik derajatnya, dan juga mulia di mata Allah.
Menjadi Pelita Pemancar Kebahagiaan untuk Ibu – Penulis: Siti Kana
SITI KANA adalah nama yang diberikan kepadaku oleh seorang alim agama di kampungku. Nama ini mengandung harapan agar kehadiranku bisa menjadi pelita pemancar kebahagiaan untuk ibuku. Ya, saya lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa. Namanya Halimah Jafar. Ibu adalah cahaya yang menerangi jiwaku, cahaya yang abadi dan tidak akan sirna ditelan masa. Ia ibarat angin yang memainkan musik kehidupan, pelangi yang memberi warna, indah dan menggetarkan perjuangannya dalam membesarkanku. Setiap orang menyimpan kenangan tersendiri akan arti sebuah perjuangan. Begitu juga denganku. Tiga tahun lalu, sebuah pengalaman hidup memberiku pelajaran, bahwa semangat dan keberanian itu harus kita ciptakan sendiri. Bukan oleh orang lain. Saat dunia di sekitar tidak mendukungmu, keberanian itulah yang tetap bisa membuat seseorang teguh pada apa yang ingin dicapainya. Itulah yang terjadi padaku sehingga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.