
Buku ini adalah sebuah catatan perjalanan sejarah hidup, perjuangan, tatanan kehidupan, kiprah, dan ide-ide cemerlang Abdi A Wahab, Rektor Unsyiah. Dimana, perjuangan untuk memperoleh pendidikan, kiprah dan ide-ide cemerlang dari seorang tokoh pemimpin Unsyiah di dua era yakni era konflik dan era tsunami. Bagi Prof Abdi, pintar kita bukanlah karena kita memiliki sederetan gelar. Pintar kita itu adalah bagaimana kita bermanfaat untuk orang lain. Tentunya banyak sekali yang bisa diteladani dari orang yang sangat menjaga kesetian sebuah persahabatan. Buku ini adalah bagian dari perjalanan seorang anak dari Desa Paya Tumpi, Takengon. Banyak hal yang bisa kita ambil sebagai panutan. Sebuah perjalanan hidup yang memerlukan pengorbanan dan kerja keras, perjalanan dalam berbangsa dan bernegara.
Tentang Penulis

Prof. Dr. Ir. Abdi Abdul Wahab, M.Sc
Website: https://www.unsyiah.ac.id/berita/unsyiah-bedah-buku-prof-abdi-abdul-wahab
Email:
Order Buku
“Saya pikir tidak perlulah orang tahu. Bupati itu kan jabatan ayah saya. Dan kenyataannya kami tidak pernah merasakan hidup mewah dan dimanja sebagaimana anak Bupati yang dibayangkan banyak orang,” ungkap Abdi A. Wahab lirih.
DEMIKIANLAH SOSOK Abdi A. Wahab yang banyak dikenang keluarga, sahabat, kolega dan teman-temannya. Doktor jebolan University of Kentucky, Amerika Serikat tahun 1986 ini selalu merendah. Meski pernah menjadi orang nomor satu di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), kepribadiannya tidak berubah. Tutur bahasanya lemah lembut. Penampilannya sangat seder hana. Sikap rendah hati dan keakrabannya kepada teman dan kolega telah menyamarkan statusnya. Sifat inilah yang selalu dikenang teman-temannya. Prof. Dr. Yusny Saby, mantan rektor IAIN Ar-Raniry mengatakan bahwa Abdi A. Wahab adalah sosok pemimpin yang cerdas. Dalam berbagai rapat kerja di BRR Aceh-Nias1 dulu, Yusny Saby mengaku kalau Abdi selalu datang dengan ide-ide brilian yang belum pernah terpikirkan orang lain.
“Beliau itu sangat disiplin, pekerja keras dan cerdas. Salah satu idenya adalah mendirikan pusat studi tsunami (Tsunami Disaster Mitigation Research Center – red) yang di Ulee Lheue itu,” jelas Yusny. Namun sesekali, sifat ‘idealis’ dalam dirinya berontak. Abdi bisa sontak emosi bila melihat ketidakpedulian atau ketidakpatuhan seseorang dalam suatu pekerjaan. Nova, anak kedua Abdi mengaku ayahnya bisa ‘meledak’ bila anakanaknya tidak mengerjakan sesuatu sesuai perintahnya. Sebaliknya, aku Nova, marahnya juga bisa cepat reda dan dia segera melupakan kejadian tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Aman Yaman, Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah yang juga pernah menjadi mahasiswa Abdi. Menurut Aman, sebagai dosen, Abdi sangat perhatian dan dekat dengan mahasiswanya. Ia sangat ingin mahasiswanya menguasai semua ilmu yang diajarkannya di kelas.
“Memang kalau kerja di fakultas kita tidak menjadi kaya. Akan tetapi kita kaya ilmu dan dengan ilmu you bisa ke mana-mana keliling dunia,” ujar Soemarmo, Dekan FKHP kepada Abdi ketika memintanya menjadi dosen pada tahun 1974.” NASIHAT SOEMARMO ini selalu terngiang di telinga Abdi. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir dosen senior FKHP tersebut menancap di benaknya. Dengan perlahan dan suara berat, Pak Marmo – demikian ia biasa disapa, mengutarakan pendapatnya. Momen inilah yang kemudian mempengaruhi perjalanan hidup seorang Abdi A. Wahab hingga kini. Padahal, Abdi sudah bekerja sebagai pegawai bagian perencanaan di Dinas Peternakan Aceh kala itu. Meski baru berstatus honor, namun ia sudah diberi sepeda motor. Sebagai anak lajang, gajinya sangat memadai. Apalagi, Abdi juga sudah mengajar di sekolah peternakan SNAKMA, Saree. Gaya ‘parlente’ yang kerap dibayangkannya ketika kecil pun sudah dapat dilakoninya.NASIHAT SOEMARMO ini selalu terngiang di telinga Abdi. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir dosen senior FKHP tersebut menancap di benaknya. Dengan perlahan dan suara berat, Pak Marmo – demikian ia biasa disapa, mengutarakan pendapatnya. Momen inilah yang kemudian mempengaruhi perjalanan hidup seorang Abdi A. Wahab hingga kini. Padahal, Abdi sudah bekerja sebagai pegawai bagian perencanaan di Dinas Peternakan Aceh kala itu. Namun, pernyataan Pak Marmo seakan menyihirnya. Tak butuh waktu lama, Abdi pun memutuskan menerima tawaran untuk menjadi dosen. Kini, sedikit banyak pernyataan Pak Marmo telah terbukti. Profesi sebagai akademisi telah membawa anak Paya Tumpi ini berkeliling dunia.
Berbekal pengalaman di Amerika, Abdi mulai membangun pola hubungan yang harmonis dengan mahasiswa. Abdi yakin, interaksi harmonis antara dosen dan mahasiswa akan mampu melahirkan kondisi belajar mengajar yang kondusif. Menurutnya, mahasiswa perlu diberi ruang untuk mengembangkan kemampuannya sendiri. Pemikiran ini didasarkan atas pengamatannya waktu belajar di Amerika. Dosen-dosen di sana memiliki interaksi hangat dengan mahasiswanya. Gelar professor tidak menghalangi para dosen menjalin hubungan yang harmonis dengan mahasiswa. Paling tidak, ini yang dirasakan Abdi ketika kuliah di University of Kentucky. Pada tahun 1994, Abdi masih menggenjot supaya mahasiswanya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Bahkan, ia membebaskan dosen-dosen muda dari tugas mengajar agar mereka fokus mendalami bahasa Inggris. Kemampuan bahasa Inggris merupakan salah satu syarat utama memperoleh beasiswa kuliah ke luar negeri. Pada tahun 1991, Abdi terpilih sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah untuk masa jabatan 1991-1995. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk membangkitkan suasana akademik dan keilmiahan di lingkungan Fakultas Pertanian. Ia merangkul dan memberikan kesempatan kepada semua dosen untuk mengembangkan fakultas.
Situasi politik dan keamanan di Aceh masih membara. Para pejabat di daerah tak ada yang bisa tenang bekerja. Tibatiba, di Sabtu pagi yang tenang, terdengar kabar duka. Pada 16 September 2000, Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. Safwan Idris tewas ditembak orang tak dikenal di pintu depan rumahnya di komplek dosen IAIN Darussalam. Langit Aceh mendadak mendung, hujan mengiringi kepergian ulama, tokoh panutan, pemimpin Darussalam. Di luar kampus, suasana politik semakin tak menentu. Kondisi keamanan di Aceh semakin genting. Pada 6 September 2001, genap setahun kurang 10 hari dari kematian Rektor IAIN Ar-Raniry, Rektor Unsyiah dieksekusi di dalam mobil dinasnya di atas jembatan dekat masjid Agung Al Makmur (Masjid Oman), Lamprit. Aceh kehilangan dua orang putra terbaiknya. Kampus Darussalam kembali berduka. Aceh bersimbah air mata. Pada akhir tahun 2001, Abdi memenangkan pemilihan Rektor Unsyiah periode 2002-2006 yang dilaksanakan secara demokratis.
“Ibarat sebuah kapal, rektor adalah pemilik kapal…. Rektor menentukan arah dan tindakan yang diperlukan agar kapal tetap eksis bisa berlayar. Nakhoda menentukan berapa kecepatan kapal bila ingin sampai ke tujuan tepat waktu.…selanjutnya memastikan semua penumpang merasa nyaman di kapal.” (Prof. Dr. Abdullah Ali, MSc). MATAHARI BANGKIT dengan lembut pagi itu. Diiringi angin sepoi-sepoi. Hari Minggu terakhir tahun 2004 menawar kan keceriaan bagi warga Aceh. Seperti biasa menjelang tutup tahun, pantai-pantai indah di sekitar Banda Aceh, Ulee Lheue, Pantai Cemara Lhoknga, Lampuuk, dan Ujong Batee disesaki warga sejak malam sebelumnya. Sebagian lainnya menyesaki lapangan Blang Padang untuk berolahraga. Bahkan, ada dua perlombaan jalan santai di seputar kota yang digelar kala itu. Yang satu dibuat dalam rangka ulang tahun Kodam Iskandar Muda, satunya lagi dalam rangka ulang tahun Bank BRI. Kota Banda Aceh terlihat mulai menggeliat. Maklum, Aceh baru saja bangkit dari kemurungan akibat konflik politik yang pelik. Darurat Sipil yang diterapkan sejak Mei membuat masyarakat sedikit leluasa dibandingkan masa Darurat Militer tahun lalu. Tak ada yang pernah menduga ketika keceriaan pagi itu tiba-tiba berubah menjadi kepanikan.
Pukul 08.05 WIB, tanah Aceh diguncang gempa dahsyat sekitar tujuh menit. Gedung-gedung bertingkat berayun-ayun bak nyiur melambai. Rumah-rumah berderak gemeretak. Mobil-mobil berguncang hebat laksana kapal di tengah lautan. Pengendara sepeda motor tercampak berserak di jalanan. Peserta jalan santai kocar-kacir, berjongkok, dan berpegangan tangan. Wajah-wajah pucat seketika. Tujuh menit saja, suasana berubah duka. Beberapa gedung megah di pusat kota runtuh. Hotel Kuala Tripa ambruk, masuk ke basemen. Sebagian gedung pusat perbelanjaan serba ada Pante Pirak di Simpang Lima roboh. Usai digoyang gempa 9,2 skala richter23, situasi mereda untuk sementara. Namun sekitar pukul 08.35, warga kembali dikejutkan dengan bencana susulan. Semua berhamburan menyelamatkan diri menjauhi pantai. “Air… air…air naik…,” pekik mereka. Batang-batang asam di sepanjang jalan Ulee Lheue menjadi saksi bisu puluhan jiwa melayang tersenggol mobil dan motor pengendara yang saling berlomba menyelamatkan diri. Ratusan kendaraan lainnya terjebak disapu tsunami di Jalan Syiah Kuala, Simpang Lima, Peunayong, dan di beberapa tempat lainnya di Aceh. Ketinggian air antara 5 – 8 meter menyapu sebagian tanah Aceh, dan bahkan hingga ke Khao Lak, Thailand, sebagian Sri Lanka, dan Chennai, India turut merasakan dampaknya. Gempa dan tsunami 26 Desember 2004 bisa dikatakan sebagai bencana terbesar sepanjang sejarah manusia di abad 21. Jumlah korban jiwa di Aceh mencapai sekitar 170.000 orang24 . Unsyiah sendiri kehilangan 111 dosen, 105 staf administrasi, dan 522 mahasiswa.
Hari-hari pascatsunami terasa berjalan lamban. Banda Aceh bagaikan kota tak bertuan. Raung sirene mobil ambulans saling bersahutan. Disusul deru truk-truk tentara yang ikut dikerahkan. Debu sisa lumpur tsunami beterbangan. Ribuan relawan nasional dan internasional mulai berdatangan. Ratusan ne gara dari seluruh dunia beserta tentaranya tak mau ketinggalan. Hari-hari masih dikejutkan oleh gempa susulan. Malam di Banda Aceh seakan mati karena sambungan listrik tak berfungsi. Beberapa hari setelah tsunami, Abdi menggelar rapat terbatas bersama Pembantu Rektor IV drg. Saifuddin Ishak, M. Kes. PKK, dan para pegawai biro di Universitas Syiah Kuala. Kebetulan hari itu hanya mereka yang bisa mengikuti rapat. Sedangkan beberapa pembantu rektor lain ada yang pulang ke kampung halaman untuk melihat kondisi keluarga. Dalam rapat tanggap darurat, Abdi mengambil kebijakan untuk dapat membayar gaji dosen dan pegawai, membebaskan SPP mahasiswa selama satu semester, serta membentuk empat taskforce pascabencana alam, serta meliburkan mahasiswa. “Saya minta kepada bagian keuangan untuk membayar gaji dosen dan pegawai, saya gak mau tahu uangnya darimana,” ujar Abdi mengingat peristiwa itu. Sementara itu, surat keputusan pembentukan tim task force sendiri keluar tanggal 2 Januari 2005 dan berlaku hingga 31 Desember 2005. Karena tindakan cepat tanggap inilah, denyut nadi Unsyiah tidak berhenti. Dapat dikatakan Unsyiah merupakan salah satu institusi negara yang mampu bertahan dan terus aktif bekerja meski diterpa bencana yang teramat dahsyat. Sedangkan layanan Pemerintah Daerah waktu itu tidak dapat berfungsi secara optimal. Tindakan tanggap darurat tsunami dikomandoi oleh Kodam Iskandar Muda.